Ketika Nasib Pekerja Kelas Menengah Indonesia Tak Luput dari Sorotan Media Asing...


Di tengah rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai Januari 2025, nasib kelas menengah Indonesia mendapat sorotan media asing. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2024 menunjukkan, jumlah penduduk kelas menengah mengalami penurunan drastis selama 5 tahun terakhir, yakni sebanyak 9,48 juta orang. Pada 2019, jumlah penduduk kelas menengah mencapai 57,33 juta.

Namun, angka itu turun menjadi 53,83 juta orang pada 2021 dan kembali turun menjadi 49,57 juta pada 2022. Merujuk Bank Dunia, pekerja yang masuk kategori kelas menengah adalah mereka dengan pengeluaran sekitar Rp 2 juta sampai Rp 9 juta per kapita per bulan. Kondisi ini pun tak luput dari sorotan media asing. Apa kata mereka? 

Al Jazeera: Kelas menengah kehilangan segalanya Melalui artikel berjudul, "We lost everything": the Indonesians falling out of the middle class yang tayang pada Jumat (15/11/2024), Al Jazeera memotret kegundahan kelas menengah dengan mewawancarai salah seorang pekerja di Indonesia. Ia adalah Halimah Nasution, warga Sumatera Utara yang berprofesi sebagai pengusaha. Sehari-hari Halimah dan suaminya, Agus Saputra mencari nafkah dengan menyewakan perlengkapan untuk pernikahan, wisuda, dan ulang tahun. Pendapatan mereka cukup fantastis setiap bulannya, yakni mencapai Rp 30 juta. Sementara pengeluaran bulanannya tercatat seperempat dari pemasukan.Artinya, pasangan tersebut termasuk ke dalam masyarakat golongan kelas menengah atas. 
Namun, sejak acara komunal dibatasi pada pandemi Covid-19, pasangan itu mengalami penurunan pemasukan yang drastis. “Kami kehilangan segalanya,” kata Halimah.Sejak saat itu, sulit bagi Halimah untuk bangkit kembali. Ia menjadi salah satu dari jutaan orang yang tersisih dari kelas menengah. Pasangan itu bahkan harus menjual mobil, tanah, dan menggadaikan rumah mereka untuk bertahan hidup. "Semua sudah habis. Bisnis kami benar-benar mati," kata dia. Kini, suaminya mengambil pekerjaan sebagai pemanen kelapa sawit dengan gaji sekitar Rp 2,8 juta per bulan. Sementara Halimah menjadi tukang bersih-bersih dengan gaji Rp 1 juta per bulannya


CNA: Penurunan kelas menengah tanda bahaya ekonomi Kantor berita Channel News Asia (CNA) juga menyoroti penurunan kelas menengah Indonesia melalui artikel berjudul Indonesia’s middle class lament ‘worsening’ plight, as sharp drop in their population sets off economic alarm bell pada Sabtu (7/9/2024). Artikel itu menyoroti pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dialami Muhammad Yudhi (33) saat pandemi Covid-19 silam. Awalnya, Yudhi bekerja di sebuah pabrik tekstil yang berjarak satu jam di sebelah timur Jakarta. Namun, dia diberhentikan dan tidak kunjung mendapat pekerjaan. "Saya sudah mencoba melamar pekerjaan di pabrik lagi, tetapi mereka bilang saya sudah terlalu tua. Semua orang mencari anak muda yang baru lulus SMA yang bisa mereka bayar dengan harga murah,” kata dia.
Penghasilannya hanya sekitar Rp 2 juta per bulan dan tidak cukup untuk membayar sewa rumah di lingkungan padat Jakarta, serta memberi makan anak-anaknya. "Bahkan jika saya berada di jalan sepanjang hari, penghasilan maksimal yang bisa saya peroleh adalah Rp 100.000. Setelah bensin dan makanan, penghasilan maksimal yang bisa saya bawa pulang adalah Rp 70.000, bahkan sering kali kurang,” kata ayah dua anak itu. 
Belum lagi, sebagai mitra ojek online, pria itu tidak mendapat jaminan kerja dan asuransi kesehatan. Sementara, istrinya hanya bekerja sebagai tukang bersih-bersih rumah paruh waktu dengan penghasilan Rp 600.000 per bulan.Yudhi adalah satu dari jutaan orang di Indonesia yang jatuh dari kelas menengah ke kelas calon menengah dalam lima tahun terakhir. “Saya sedih. Rasanya kita seperti mundur sebagai sebuah negara. 
Kesejahteraan rakyat seharusnya membaik, bukan malah memburuk,” tutur Yudhi. Sejumlah pakar mengingatkan, Indonesia bisa saja mengalami nasib seperti Chili, negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi stabil tetapi populasi kelas menengahnya turun. Akibatnya, negara Amerika Selatan itu mengalami ketimpangan sosial dan kenaikan harga yang mengundang protes serta kerusuhan selama bertahun-tahun.

Sc : Kompas.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama