TANGERANG - Jalan-jalan di Serpong, Tapak Tilas Sejarah Tangsel ,Tangerang Selatan menyimpan sejarahnya sendiri. Mulai dari tentang penyebaran Islam, hingga bangunan tinggalan pabrik gula zaman Belanda.
Pada Sabtu (11/3/2023) detikTravel menjelajahi spot sejarah Tangsel, khususnya di sekitar Serpong bersama komunitas jalan-jalan dan pemandu dari Ngopi di Jakarta (NgoJak).
Titik kumpul kami berada di Stasiun Serpong, cuaca cukup bersahabat di pagi hari, tidak hujan, tidak terlalu terik. Pada sekitar 9.15 rombongan memulai untuk mendatangi tujuan pertama, yakni Monumen Palagan Lengkong atau yang dikenal juga Monumen Daan Mogot.
Karena jaraknya cukup jauh dari stasiun, rombongan menuju lokasi dengan menggunakan angkot. Pengalaman menelusuri kota dengan angkot ini jadi sesuatu yang berbeda dibanding dengan tur jalan kaki pada umumnya.
Monumen Palagan Lengkong atau Monumen Daan Mogot merupakan cagar budaya. Monumen ini menjadi penanda tragedi kelam meninggalnya 33 orang taruna PETA atau tentara pada masa itu.
Tragedi kelam tempat ini berawal dari insiden tanggal 25 Januari 1946. Saat itu, mayor muda Elias Daan Mogot, yang merupakan siswa PETA, meminta senjata kepada tentara Jepang yang telah menyerah ke sekutu.
Perundingan terjadi dan berjalan lancar, pihak Jepang juga sepakat memberikan senjata ke pihak sekutu dan Indonesia. Namun, senjata yang sudah diangkut secara tidak sengaja meletus. Membuat Jepang mengira hal ini adalah upaya perang. Senjata yang belum sempat dilucuti akhirnya digunakan tentara Jepang untuk menembaki para pejuang di lokasi.
Di sini, traveler dapat melihat bangunan rumah tua berwarna putih hijau dan terdapat monumen yang memuat peristiwa Lengkong tepat di sebelahnya. Sayangnya Monumen Palagan Lengkong ini tidak dapat dimasuki oleh pengunjung.
Beranjak dari situ, kami kembali menaiki moda transportasi angkutan kota (Angkot) untuk berkunjung ke rumah eks Landhuis Cilenggang yang juga empat jadi pemukiman pegawai PTPN VIII. Lahan ini dulunya merupakan pabrik gula yang sempat beroperasi hingga 1870-an.
Bangunan rumah ini tak lagi dihuni, membuat bangunannya terbengkalai dan rusak. Selain itu, bekas pabrik gula juga sudah tidak dapat ditemui, tersisa bebatuan yang diduga merupakan fondasi dari pabrik gula pada masa itu.
Kemudian, perjalanan kami lanjutkan dengan berjalan kaki secara penuh, menuju cagar budaya makam keramat Tajug. Tempat ini merupakan makam dari anak Sultan Ageng Tirtayasa, yakni TB. Muhammad Atif, yang punya pengaruh dalam masyarakat Islam di sekitar sini.
Makam ini terletak di atas bukit, yang mana ini juga memiliki makna filosofis yang menyertainya.
"Pada masa lalu ada ungkapan di bawah langit di atas bumi, itu tempatnya di gunung. Orang yang dihormati baik secara spiritual maupun secara kebangsawanan dan sosial, biasanya dimakamkan di tempat paling tinggi," ujar founder sekaligus pemandu Ngopi di Jakarta, Reyhan Biadillah.
Kemudian, perjalanan bergeser ke Pecinan Serpong, tepatnya sekitar Klenteng Boen Hay Bio. Klenteng ini disinyalir telah dibangun sejak tahun 1694. Klenteng ini merupakan klenteng tertua di Kota Tangerang Selatan.
Kemudian, kami menuju ke Tugu Perjuangan Rakyat di Serpong. Monumen ini terletak tak jauh dari Klenteng dan berada tepat di pinggir jalan bekas pusat kota dan Pasar Serpong.
Di sekitar monumen ini dulunya terdapat tragedi bersejarah, yakni penyerbuan KH Ibrahim dan Abuya Hatim yang menyerang markas pasukan NICA. Atas penyerbuan itu, memakan korban 189 orang korban jiwa yang gugur di tempat tersebut.
Namun setelah pengakuan kedaulatan, jenazah para yang gugur di sini, dibongkar dan dimakamkan ulang dan sebagian besar dipindah ke Kompleks Pemakaman Pahlawan Seribu.
Selepas dari tempat ini kami berangkat menuju kedai es kelapa, di sini kami disiram segarnya es kelapa siang hari dan juga siraman informasi dari Mang Iging, Pendiri Wajah Serpong Tempoe Doeloe, perihal cerita sejarah di wilayah Serpong.
Peserta tur jalan kaki ini pun memberi kesan terkait pengalamannya menyusuri sejarah Serpong bersama komunitas ini. "Menarik sekali ya karena ini konsep yang berbeda. Karena setiap kunjungannya mereka melibatkan masyarakat lokal ya dalam menjelaskan sejarah daerahnya, ini menurut saya hal yang baru ya," ujar Alex.
Seiringan dengan itu, Ryan yang berasal dari Bekasi juga rela datang dan ikutan tur jalan kaki karena tema yang diangkat tidak umum.
"Baru ikut dua kali, pertama ke Bekasi dan ini ke Serpong. Karena temanya enggak umum ya, karena walking tour lain kan belum ada ya, jadi ikut lagi," ujar Ryan.
"Ngojak itu bukan tema walking tour yang biasa dipikirkan sama orang-orang ya kalau menurut saya. Yang pertama kayak Bekasi, masih jarang kan orang yang melibatkan Bekasi di walking tournya. Yang kedua Serpong ini, maksudnya di tengah hingar bingar BSD, ternyata ada seluk beluk Serpong yang punya cerita banyak di dalamnya," kata Ryan.
Titik kumpul kami berada di Stasiun Serpong, cuaca cukup bersahabat di pagi hari, tidak hujan, tidak terlalu terik. Pada sekitar 9.15 rombongan memulai untuk mendatangi tujuan pertama, yakni Monumen Palagan Lengkong atau yang dikenal juga Monumen Daan Mogot.
Karena jaraknya cukup jauh dari stasiun, rombongan menuju lokasi dengan menggunakan angkot. Pengalaman menelusuri kota dengan angkot ini jadi sesuatu yang berbeda dibanding dengan tur jalan kaki pada umumnya.
Monumen Palagan Lengkong atau Monumen Daan Mogot merupakan cagar budaya. Monumen ini menjadi penanda tragedi kelam meninggalnya 33 orang taruna PETA atau tentara pada masa itu.
Tragedi kelam tempat ini berawal dari insiden tanggal 25 Januari 1946. Saat itu, mayor muda Elias Daan Mogot, yang merupakan siswa PETA, meminta senjata kepada tentara Jepang yang telah menyerah ke sekutu.
Perundingan terjadi dan berjalan lancar, pihak Jepang juga sepakat memberikan senjata ke pihak sekutu dan Indonesia. Namun, senjata yang sudah diangkut secara tidak sengaja meletus. Membuat Jepang mengira hal ini adalah upaya perang. Senjata yang belum sempat dilucuti akhirnya digunakan tentara Jepang untuk menembaki para pejuang di lokasi.
Di sini, traveler dapat melihat bangunan rumah tua berwarna putih hijau dan terdapat monumen yang memuat peristiwa Lengkong tepat di sebelahnya. Sayangnya Monumen Palagan Lengkong ini tidak dapat dimasuki oleh pengunjung.
Beranjak dari situ, kami kembali menaiki moda transportasi angkutan kota (Angkot) untuk berkunjung ke rumah eks Landhuis Cilenggang yang juga empat jadi pemukiman pegawai PTPN VIII. Lahan ini dulunya merupakan pabrik gula yang sempat beroperasi hingga 1870-an.
Bangunan rumah ini tak lagi dihuni, membuat bangunannya terbengkalai dan rusak. Selain itu, bekas pabrik gula juga sudah tidak dapat ditemui, tersisa bebatuan yang diduga merupakan fondasi dari pabrik gula pada masa itu.
Kemudian, perjalanan kami lanjutkan dengan berjalan kaki secara penuh, menuju cagar budaya makam keramat Tajug. Tempat ini merupakan makam dari anak Sultan Ageng Tirtayasa, yakni TB. Muhammad Atif, yang punya pengaruh dalam masyarakat Islam di sekitar sini.
Makam ini terletak di atas bukit, yang mana ini juga memiliki makna filosofis yang menyertainya.
"Pada masa lalu ada ungkapan di bawah langit di atas bumi, itu tempatnya di gunung. Orang yang dihormati baik secara spiritual maupun secara kebangsawanan dan sosial, biasanya dimakamkan di tempat paling tinggi," ujar founder sekaligus pemandu Ngopi di Jakarta, Reyhan Biadillah.
Kemudian, perjalanan bergeser ke Pecinan Serpong, tepatnya sekitar Klenteng Boen Hay Bio. Klenteng ini disinyalir telah dibangun sejak tahun 1694. Klenteng ini merupakan klenteng tertua di Kota Tangerang Selatan.
Kemudian, kami menuju ke Tugu Perjuangan Rakyat di Serpong. Monumen ini terletak tak jauh dari Klenteng dan berada tepat di pinggir jalan bekas pusat kota dan Pasar Serpong.
Di sekitar monumen ini dulunya terdapat tragedi bersejarah, yakni penyerbuan KH Ibrahim dan Abuya Hatim yang menyerang markas pasukan NICA. Atas penyerbuan itu, memakan korban 189 orang korban jiwa yang gugur di tempat tersebut.
Namun setelah pengakuan kedaulatan, jenazah para yang gugur di sini, dibongkar dan dimakamkan ulang dan sebagian besar dipindah ke Kompleks Pemakaman Pahlawan Seribu.
Selepas dari tempat ini kami berangkat menuju kedai es kelapa, di sini kami disiram segarnya es kelapa siang hari dan juga siraman informasi dari Mang Iging, Pendiri Wajah Serpong Tempoe Doeloe, perihal cerita sejarah di wilayah Serpong.
Peserta tur jalan kaki ini pun memberi kesan terkait pengalamannya menyusuri sejarah Serpong bersama komunitas ini. "Menarik sekali ya karena ini konsep yang berbeda. Karena setiap kunjungannya mereka melibatkan masyarakat lokal ya dalam menjelaskan sejarah daerahnya, ini menurut saya hal yang baru ya," ujar Alex.
Seiringan dengan itu, Ryan yang berasal dari Bekasi juga rela datang dan ikutan tur jalan kaki karena tema yang diangkat tidak umum.
"Baru ikut dua kali, pertama ke Bekasi dan ini ke Serpong. Karena temanya enggak umum ya, karena walking tour lain kan belum ada ya, jadi ikut lagi," ujar Ryan.
"Ngojak itu bukan tema walking tour yang biasa dipikirkan sama orang-orang ya kalau menurut saya. Yang pertama kayak Bekasi, masih jarang kan orang yang melibatkan Bekasi di walking tournya. Yang kedua Serpong ini, maksudnya di tengah hingar bingar BSD, ternyata ada seluk beluk Serpong yang punya cerita banyak di dalamnya," kata Ryan.